Kasus kekerasan
terhadap perempuan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.
Namun tak jarang dari mereka yang bertambah kepedihannya karena
pemberitaan media massa. Tak jarang media massa sekarang yang tidak
memperhatikan privasi korban kekerasan dan masa depan narasumber. Hak
pribadi dan keluarga terkadang malah diobral untuk menambah sensasi
pemberitaan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
menyimpulkan perempuan masih menjadi objek pemberitaan yang mampu
mendongkrak popularitas media. Pemberitaan tentang perempuan dari sisi
negatif paling menggoda untuk dibuka pemirsa. Kasus-kasus pidana atau
pun profil perempuan yang kemudian terus dipantau industri media untuk
diwartakan.
"Riset kami tahun lalu menarik kesimpulan,
perempuan masih menjadi objek pemberitaan yang menarik. Tingkat
pemirsanya tinggi, melebihi berita politik sekali pun," kata Pengurus
AJI Indonesia, Hesthi Murthi.
Menurut Hesthi, dari berita-berita
tentang perempuan--khususnya kasus kekerasan--yang muncul di media, tak
sedikit yang menabrak kode etik. Industri media, tak mengindahkan
pengungkapan identitas perempuan sebagai pelaku atau pun korban
kekerasan. Perempuan yang menjadi objek pemberitaan kerap dikuliti
identitasnya, sampai masalah pribadi.
Padahal, sudah ada aturan
yang mengatur tentang kode etik penulisan korban kekerasan yang
melibatkan perempuan atau pun anak. "Kami terus mengingatkan kepada
wartawan, bahwa ada aturan kode etik yang mengatur pemberitaan tentang
ini. Akan tetapi, hal ini terus terjadi," katanya.
Wartawan
punya tanggung jawab tentang masa depan perempuan yang ditulis dalam
pemberitaan. Pengungkapan identitas terhadap perempuan yang menjadi
korban atau pun pelaku kekerasan akan abadi diingat masyarakat luas. Hal
ini mengancam masa depan subjek pemberitaan.
"Seperti
diketahui, profesi jurnalis itu profesi terbuka. Terkadang, mereka juga
tak memiliki pemahaman tentang gender dalam pemberitaan. Industri media
sendiri tak punya pembekalan yang cukup kepada jurnalisnya dalam
peliputan," kata Hesti.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Jurnal
Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan, pemberitaan tentang perempuan
sudah dihakimi sejak informasi tersebut ditulis. Perempuan dalam
pemberitaan, kata dia, masih belum berimbang. Diberitakan tanpa
konfirmasi. Industri media kemudian menggiring masyarakat untuk berpikir
negatif terhadap perempuan yang masuk dalam pemberitaan, khususnya
kasus asusila. "Sebenarnya masyarakat itu tak salah, tapi industri media
yang menggiring opini negatif tentang perempuan. Subjektif. Tanpa riset
dan konfirmasi," ungkapnya.
Dewan Pers dan Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) dinilai belum memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan
keras terhadap industri media yang melanggar aturan. Menurut Mariana
diperlukan suatu lembaga independen untuk memantau perkembangan
pemberitaan media, khususnya tentang etika menulis kasus-kasus yang
melibatkan perempuan.
Lembaga tersebut juga diberikan
kewenangan melakukan penindakan terhadap media yang dinilai melanggar
aturan. "Lembaga tersebut bisa berisi orang-orang independen, yang
memiliki wewenang penindakan terhadap industri media. Seperti KPK,
misalnya. Karena, masyarakat juga berhak mendapatkan sajian informasi
yang berkualitas," katanya.
Editor: Doddy Rosadi
Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2906990_4215.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar