Selasa, 03 September 2013

Awasi Media Pengekspos Perempuan

Kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Namun tak jarang dari mereka yang bertambah kepedihannya karena pemberitaan media massa. Tak jarang media massa sekarang yang tidak memperhatikan privasi korban kekerasan dan masa depan narasumber. Hak pribadi dan keluarga terkadang malah diobral untuk menambah sensasi pemberitaan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyimpulkan perempuan masih menjadi objek pemberitaan yang mampu mendongkrak popularitas media. Pemberitaan tentang perempuan dari sisi negatif paling menggoda untuk dibuka pemirsa. Kasus-kasus pidana atau pun profil perempuan yang kemudian terus dipantau industri media untuk diwartakan.

"Riset kami tahun lalu menarik kesimpulan, perempuan masih menjadi objek pemberitaan yang menarik. Tingkat pemirsanya tinggi, melebihi berita politik sekali pun," kata Pengurus AJI Indonesia, Hesthi Murthi.

Menurut Hesthi, dari berita-berita tentang perempuan--khususnya kasus kekerasan--yang muncul di media, tak sedikit yang menabrak kode etik. Industri media, tak mengindahkan pengungkapan identitas perempuan sebagai pelaku atau pun korban kekerasan. Perempuan yang menjadi objek pemberitaan kerap dikuliti identitasnya, sampai masalah pribadi.

Padahal, sudah ada aturan yang mengatur tentang kode etik penulisan korban kekerasan yang melibatkan perempuan atau pun anak. "Kami terus mengingatkan kepada wartawan, bahwa ada aturan kode etik yang mengatur pemberitaan tentang ini. Akan tetapi, hal ini terus terjadi," katanya.

Wartawan punya tanggung jawab tentang masa depan perempuan yang ditulis dalam pemberitaan. Pengungkapan identitas terhadap perempuan yang menjadi korban atau pun pelaku kekerasan akan abadi diingat masyarakat luas. Hal ini mengancam masa depan subjek pemberitaan.

"Seperti diketahui, profesi jurnalis itu profesi terbuka. Terkadang, mereka juga tak memiliki pemahaman tentang gender dalam pemberitaan. Industri media sendiri tak punya pembekalan yang cukup kepada jurnalisnya dalam peliputan," kata Hesti.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan, pemberitaan tentang perempuan sudah dihakimi sejak informasi tersebut ditulis. Perempuan dalam pemberitaan, kata dia, masih belum berimbang. Diberitakan tanpa konfirmasi. Industri media kemudian menggiring masyarakat untuk berpikir negatif terhadap perempuan yang masuk dalam pemberitaan, khususnya kasus asusila. "Sebenarnya masyarakat itu tak salah, tapi industri media yang menggiring opini negatif tentang perempuan. Subjektif. Tanpa riset dan konfirmasi," ungkapnya.

Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dinilai belum memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan keras terhadap industri media yang melanggar aturan. Menurut Mariana diperlukan suatu lembaga independen untuk memantau perkembangan pemberitaan media, khususnya tentang etika menulis kasus-kasus yang melibatkan perempuan.

Lembaga tersebut juga diberikan kewenangan melakukan penindakan terhadap media yang dinilai melanggar aturan. "Lembaga tersebut bisa berisi orang-orang independen, yang memiliki wewenang penindakan terhadap industri media. Seperti KPK, misalnya. Karena, masyarakat juga berhak mendapatkan sajian informasi yang berkualitas," katanya.

Editor: Doddy Rosadi
Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2906990_4215.html